Global Expose TV Kabupaten Asahan – Fakta hukum baru terungkap dari Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN RI Nomor 66/HGU/DA/85/B/51 tanggal 13 November 1996 tentang perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) PT Bakrie Sumatera Plantations (PT BSP) di Kabupaten Asahan, Sumatera Utara.
Dalam dokumen tersebut, pemerintah mengakui adanya 366 hektar tanah yang tidak lagi dikuasai perusahaan karena telah digunakan oleh masyarakat.
Temuan ini dinilai menjadi dasar hukum kuat bagi masyarakat untuk menuntut kembali hak atas tanah tersebut.
“Pernyataan dalam SK Menteri itu adalah pengakuan resmi negara bahwa di dalam areal HGU terdapat tanah masyarakat. Artinya, 366 hektar itu bukan milik perusahaan,”
tegas Akhmat Saipul Sirait, Ketua Dewan Pembina LSM GARI (Gerakan Aliansi Rakyat Indonesia).
Dalam SK itu disebutkan, luas awal HGU PT BSP sebesar 18.922 hektar dikurangi 366 hektar, sehingga luas akhirnya menjadi 18.556 hektar.
Fakta ini dinilai menegaskan batas hukum atas klaim penguasaan penuh yang selama ini diajukan perusahaan.
LSM GARI menduga, tanah seluas 366 hektar tersebut berada di wilayah Padang Sari, Kecamatan Tinggi Raja, lokasi yang kini menjadi titik konflik antara masyarakat adat dengan PT BSP.
Mereka mendesak pemerintah menunda perpanjangan HGU dan tidak mengeluarkan persetujuan RTRW sebelum status tanah masyarakat tersebut dipastikan secara hukum.
“Pemerintah tidak boleh menutup mata. Ini bukan tanah perusahaan — ini tanah rakyat yang bahkan telah diakui dalam keputusan resmi Menteri Agraria,”
ujar Akhmat menegaskan.
LSM GARI juga menilai, karena masa berlaku HGU PT BSP telah berakhir pada 2021–2022, maka tidak ada dasar hukum bagi perusahaan untuk tetap menguasai lahan yang disengketakan.
Organisasi ini mendesak agar 366 hektar tersebut dijadikan prioritas redistribusi tanah eks HGU demi keadilan bagi masyarakat lokal.
Menanggapi hal tersebut, pihak legal PT BSP, Wahyudi, membantah adanya pengurangan luas dalam SK HGU tersebut.
Menurutnya, lahan yang dimaksud masih termasuk dalam kawasan HGU PT BSP dan kini sedang dalam proses pembaruan.
“Tidak benar ada pengurangan lahan 366 hektar di dalam SK HGU tersebut. Lahan itu milik PT BSP dan sedang dalam proses pembaruan HGU,”
kata Wahyudi saat dikonfirmasi wartawan.
Sementara itu, pada Selasa (21/10/2025), Aliansi Kelompok Tani Asahan (AKTA) menggelar aksi di Kantor Wilayah BPN Sumatera Utara.
Dalam aksi tersebut, Kabid Sengketa Lahan BPN Sumut, Julianda, menyatakan pihaknya telah menerima laporan masyarakat dan akan menindaklanjutinya ke Kementerian ATR/BPN.
“Kami menerima semua laporan atas sengketa lahan dan akan menindaklanjutinya. Kami juga akan membantu dalam proses pelaporan ke Kementerian ATR/BPN,”
ujar Julianda di hadapan massa aksi.
Dalam tuntutannya, AKTA mendesak agar pemerintah tidak memperpanjang HGU PT BSP, mengeluarkan 366 hektar tanah masyarakat dari peta HGU, serta melakukan audit ulang seluruh HGU PT BSP di Asahan.
Mereka juga meminta Kejaksaan dan aparat penegak hukum turun tangan, serta menolak segala bentuk intimidasi terhadap warga penggarap.
“Negara harus hadir dan melindungi rakyat, bukan hanya korporasi,”
tegas salah satu perwakilan AKTA dalam orasinya.
SK Menteri Agraria: No. 66/HGU/DA/85/B/51
Tanggal terbit: 13 November 1996
Luas awal HGU: 18.922 Ha
Pengurangan luas: ±366 Ha (versi LSM GARI)
Luas akhir HGU: 18.556 Ha
Masa berlaku HGU: Berakhir 2021–2022
Hingga berita ini diterbitkan, pihak Pemerintah Provinsi Sumatera Utara belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait tindak lanjut atas status hukum lahan 366 hektar tersebut.
LSM GARI – Gerakan Aliansi Rakyat Indonesia
“Bergerak untuk Keadilan Agraria dan Hak Rakyat.”
Penulis : Ramses Sihombing
Editor : Sukadi
Sumber Berita : 366 Hektar Tanah Masyarakat Tersisa dalam HGU PT BSP, Jadi Celah Hukum Kuat untuk Rebut Kembali Hak Rakyat












